Ketika Lisan Lebih Tajam Dari Pedang

by - Juli 30, 2021


Beberapa waktu lalu, saat salah satu anak magang di kantor sedang menyusun berkas pendukung pendaftaran CPNS, iseng-iseng saya melihat ijazahnya dan kemudian terkejut karena ternyata kami sama-sama alumni Makassar walau gak satu kampus.

Pantas aja kami gak pernah bertemu, rupanya ia baru mulai kuliah beberapa tahun setelah saya lulus. Lalu saya pun menyebutkan nama-nama teman satu angkatan saya yang kebetulan satu kampung dengannya. Dan ia balas dengan menyebut nama seseorang yang entah mengapa membuka luka lama di hati saya yang sialnya sampai saat ini belum sembuh juga.

Saya dan si dia yang udah menggoreskan luka itu udah cukup lama gak bertemu. Setiap ada momen yang seharusnya bisa membuat kami bertemu, ada aja alasan yang membuat kami gak bisa hadir di momen itu. Ya, saya dan dia adalah teman sekelas saat SMA. Saat kuliah, kami memilih untuk kuliah di kota yang sama walau beda kampus.

Entah mengapa perkataannya (yang mungkin dianggapnya biasa aja) belasan tahun lalu itu masih membekas banget di hati saya. Dia mungkin udah lupa pernah melontarkan kalimat menyakitkan itu, tapi saya gak akan pernah lupa, saking dalamnya tohokan kalimat menyakitkan itu. Sampai saat ini saya masih bertanya-tanya apakah yang membuatnya tega melontarkan kalimat menyakitkan itu pada saya? Rasa-rasanya saya gak pernah melakukan sesuatu yang melukai hatinya.

Baca Juga: Ketika Rasa Iri Datang Menghampiri

Kini saya paham, mengapa kita selalu diminta untuk menjaga lisan karena ternyata luka akibat lisan itu memang lebih menyakitkan dan traumatis. Kita gak pernah tahu seberapa dalam dan menyakitkan luka yang kita tinggalkan pada korban perkataan kita. Luka akibat pisau pasti dapat diobati dan bekasnya bisa hilang seiring berjalannya waktu, tapi luka yang ditimbulkan akibat kata-kata bisa jadi gak akan pernah sembuh.

Ini menjadi pelajaran yang penting banget buat saya. Karena udah pernah merasakan gimana sakitnya menjadi korban keteledoran lisan seseorang, saya jadi gak pengen orang lain merasakan hal serupa. Setiap kali berkata-kata, saya usahakan untuk memilih diksi yang baik yang gak menyinggung, walau harus saya akui beberapa kali pernah "keseleo lidah" dan setelahnya hati menjadi gelisah. Hati saya seperti udah tersetting otomatis bakalan merasa gak enak dan gelisah bila menyadari ada kalimat yang kurang pantas saya ucapkan pada lawan bicara. Hati saya baru agak enakan setelah memohon maaf dan mendapatkan maaf dari si lawan bicara. 

Menjaga bibir agar selalu mengucapkan kalimat-kalimat yang menenteramkan hati memang sulit, tapi bila dibiasakan pasti bisa. Sampai saat ini saya masih terus belajar untuk menjaga lisan, sebisa mungkin mengucapkan kalimat yang baik dan berusaha mengerem mulut agar gak mengucapkan kalimat yang menimbulkan luka.

So, buat pembaca yang sekiranya pernah saya lukai hatinya baik lewat perbuatan, lisan maupun tulisan, dengan penuh kerendahan hati saya memohon untuk dibukakan pintu maaf 🙏🙏



You May Also Like

10 Comments

  1. Setuju. Makanya ada kiasan lidah bisa lebih tajam ketimbang pedang. Karena sakit dari ulah perkataan yang salah meski itu nggak sengaja kadang bekasnya tak mau enyah. Meski sudah bertahun-tahun berlalu.

    BalasHapus
  2. Hiks.. Pernah banget kayak gini. Kalau ketemu seseorang yang perkataannya pernah nyakitin rasanya langsung keinget aja. Padahal ya insya Allah sudah memaafkan.

    Bener banget ya kata orang kalau kita sudah menancap paku, walau sudah dicabut akan tetap ada bekasnya...

    BalasHapus
  3. Setuju mba..menjaga lisan itu penting sekali, meski bagi saya masih menjadi PR haha.. Seperti mba, saya pun pernah tersakiti akibat komen tajam seseorang dan itu menjadi pemicu saya terus berusaha menjaga lisan.

    BalasHapus
  4. Ya memang luka yang diakibatkan karena lisan itu membekas lama. Kasarnya terluka karena pedang bisa terobati, dan perlahan bekasnya akan hilang, tapi luka karena lisan selalu teringat terus.

    Tulisan ini juga sebagai pengingat untuk diri saya sendiri, karena apalah kita hanya manusia tempatnya salah dan lupa.

    BalasHapus
  5. Saya juga pernah merasakannya. Mendapatkan lontaran kata-kata yang begitu menusuk. Padahal dulu saya masih bocah SD, dan mendapatkan kata-kata yang begitu menyakitkan. Hingga sekarang pun saya masih ingat dengan jelas kata-kata itu.

    BalasHapus
  6. membaca tulisanmu, menjadi pengingat bersama ya mbak. kita harus pandai pandai menjaga lisan, karena hati orang bisa terluka jika tidak pandai menjaga.

    BalasHapus
  7. Iya ka..saya juga pernah ngalamin begitu, ada teman yang kata-katanya menyakiti perasaan saya. gak sekali dua kali dia berkata begitu, duuh rasanya sakit banget kok tega ya. Itulah makanya kenapa kita diminta untuk menjaga lisan kita jangan sampai menyakiti orang lain.

    BalasHapus
  8. Emm...emangnya dia sengaja ya ngomong seperti itu untuk menyakiti dirimu mbak? Soalnya dari ceritamu ini tampaknya dia ga nyadar kalau kata-katanya hurting dirimu.

    BalasHapus
  9. Bener banget luka yang didapat karena lisan itu biasanya lama hilangnya dan bakal diingat terus. Bahkan walau kadang ucapan itu keluar tanpa sengaja tetap aja sakitnya berasa

    BalasHapus
  10. Setuju sekali untuk ttp menjaga lisan karena belum tentu orang yang mendengar ucapan itu menerimanya..makanya silent is gold ya mba

    BalasHapus

Bikin acar dari kedondong
Setelah dibaca, minta komennya dong! 😉